Sambut Ramadhan 1442 Hijriyah

Sambut Ramadhan 1442 Hijriyah

TV MUHAMMADIYAH (ADiTV Jogja)

Untuk dapat menonton konten ini anda perlu menginstall flash player
# Langsung live dari Adi-TV Jogjakarta

Rabu, 01 April 2015

Mentalqin Mayit dan Memberi Nasehat di atas Kuburan

oleh : ustadz IMANAN

Pertanyaan:
Assalammu‘alaikum Wr. Wb. Ust. Mohon dijelaskan tentang  Apa hukum mentalqin mayit setelah dikuburkan dengan dibacakan di atas kubur ,misalnya: Man Imamuka, man Nabiyuka… dst, jika ada haditsnya bagaimana kedudukan hadits tersebut?  Apakah boleh memberikan ceramah atau nasehat serta berdoa di atas kuburan setelah selesai dikuburkan ? (Abdul Hamid pembaca Lazismu di Surabaya)

Jawaban: Wa’alaikumussalam  Warahmatullohi. Wabarakatuh..

Talqin di atas kuburan yang biasanya dilakukan setelah jenazah dikuburkan, dalam hal ini ada  yang berpendapat hukumnya dibolehkan, mereka berhujjah dengan hadits di bawah ini : Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul Maram no hadits 605, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Imam Ath Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].

Diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili r.a., dia berkata, "Jika aku meninggal, maka perlakukanlah diriku seperti apa yang diperintahkan Rasululloh saw. kepada kami dalam mengurus jenazah. Rasululloh saw. mengatakan kepada kami, "Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal dunia, lalu kalian telah menimbunkan tanah di kuburnya, maka hendaklah salah satu dari kalian duduk bagian kepalanya dan berkata, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu mendengar ucapannya tapi dia tidak menjawab. Lalu orang itu berkata lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu duduk. Kemudian dia berkata lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu berkata, "Berilah petunjuk pada kami, semoga Allah merahmatimu." Namun, kalian semua tidak akan merasakan hal itu. Kemudian hendaklah orang yang mentalkin itu mengatakan, "Ketika kamu meninggalkan dunia, ingatlah syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan bahwasanya kamu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu dan Alquran sebagai pemimpinmu." Maka malaikat Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan mereka dan berkata, "Marilah kita pergi. Untuk apa kita duduk pada orang yang telah diajarkan hujjahnya." Dan Allah menjadi hujjah baginya dari pertanyaan dua malaikat itu."

Lalu salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibunya tidak diketahui?" Maka beliau pun menjawab, "Hendaknya dia menisbatkannya pada Hawa. Yaitu dengan mengatakan, "Wahai Fulan bin Hawa." (HR. Thabrani, Ibnu Syahin dan lainnya).


Hadits inilah yang menjadi dasar berpijak orang-orang yang melakukan  talqin setelah mayit selesai dikuburkan. Mereka duduk disisi kuburan lalu berkata : Wahai bapak / ibu fulan, engkau nanti akan didatangi dua malaikat, keduanya akan menanyakan kepadamu begini dan begitu….dst”
Mengingat bahwa mentalqin mayit seakan-akan menjadi sebuah kelaziman (tuntunan) di negeri kita ini, maka harus diketahui derajat hadits tersebut.
Takhrij hadits :
  • Diriwayatkan oleh Imam Ath Thabrani dalam Ad Du’a dan Mu’jam al Kabir 8/289 no : 7979 berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Uqail Anas Al Khaulani berkata : ” Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim al Ala’ berkata : “Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ayyasy, berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad Al Qurasyi dan Yahya bin Abi Katsir dari Sa’id bin Abdulloh al Audi.
  • Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Khal’i dalam Al Fawa’id 2/55 dari Abu Darda’ Hasyim bin Muhammad al Anshari berkata : “Telah menceritakan kepada kami Utbah bin Sakan dari Abu Zakariya dari Jabir bin Sa’id Al Azdi berkata : Saya masuk menemui Abu Umamah Al Bahili saat beliau sedang sakaratul maut, – Kemudian beliau menyebutkan hadits diatas-.
Derajat hadits :
  • Hadits riwayat Ath Thabrani, dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 3/45: Dalam sanadnya banyak perawi yang tidak saya kenal (majhul).
  • Sedangkan riwayat Al Khal’i, maka lebih parah lagi, karena selain banyaknya beberapa rawi yang majhul, ternyata Utbah bin Sakan adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya bahkan tertuduh memalsukan hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Daruquthni dan Imam Baihaqi.
  • Berkata Ibnu Shalah : Sanadnya tidak bisa dijadikan hujjah.
  • Al Imam An Nawawi juga melemahkannya, sebagaima dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 5/304 dan al Fatawa hal : 54.
  • Berkata Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 24/296 : Hadits ini tidak dihukumi shahih.
  • Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/523 : “ Hadits ini tidak shahih secara marfu’.” Beliau juga berkata dalam Tahdzibus Sunan : “Hadits ini disepakati akan kelemahannya.”
  • Imam Al Iraqi juga melemahkannya dalam takhrij Ihya’ 4/420.
  • Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Nata’ijul Afkar dan Fathul Bari 10/563 : Hadits ini lemah sekali.
  • Hadits ini juga dilemahkan oleh Zarkasyi dalam Al La’ali al Manstsurah hal : 59, As Suyuthi dalam Ad Durar al Manstsurah hal : 25 .
  • Berkata Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam 2/122 : “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak saya kenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abdulloh dan dia adalah seorang perawi yang lemah
  • Berkata Syaikh Al Albani : Kesimpulannya bahwa hadits ini munkar, jika bukan malah palsu.
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin.
Jawaban beliau, “Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa (sakaratul maut). Orang yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illalloh sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaha illalloh, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu di hadapan Alloh’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amalan bid’ah karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu berkata, ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya’.
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amalan bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).

Syeikh Al-Albany mengategorikan amalan ini (mentalqin maiyit) adalah  amalan bid’ah di dalam hal peawatan  jenazah (lihat Ahkamul Janaiz hal: 217, maktabatul ma’arif), demikian pula Syeikh Abdulloh bin Baz (lihat Majmu’ dan Rasail beliau 10/361). Lihat juga Fatawa Al-lajnah Ad-daimah 9/72.

Jadi yang bisa kita simpulkan dari perkataan para ulama peneliti hadits, bahwa sesungguhnya hadits tentang talqin di atas adalah hadits yang lemah sehingga mengamalkan adalah bid’ah (amalan yang tidak ada tuntunannya). Tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mempraktekkannya.
Untuk memberikan ceramah atau nasehat setelah jenazah dikuburkan, ada yang berpendapat dibolehkan, mereka berdalil dengan hadits ; Dari Bara’ bin Azib berkata : “Kami keluar bersama Rasululloh saw untuk menguburkan jenazah salah seorang sahabat Anshar, dan sampailah kami ke pekuburan ternyata lubang kuburnya belum digali, maka Rasululloh  saw duduk menghadap ke kiblat dan kita pun duduk disekeliling beliau seakan-akan dikepala kami ada burung yang hinggap, Rasululloh saw memegang batang kayu dan menggaris-gariskannya ketanah, lalu beliau melihat ke langit lalu kebumi, beliau juga mengarahkan pandangan keatas kemudian menurunkannya, lalu beliau bersabda : “Berlindunglah kalian kepada Alloh dari adzab kubur.” lalu beliau berdoa : Ya Alloh, sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari adzab kubur ( 3X ), kemudian beliau bersabda : -tentang perjalanan seseorang mu’min maupun kafir setelah meninggal dunia- (Shahih, HR. Abu Dawud , Hakim 1/37, Thayalisi : 753, Ahmad 4/287, Lihat takhrij secara lengkap pada Ahkamul Jana’iz oleh Imam Al Albani hal : 202)

Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk berhujjah dibolehkan memberi ceramah atau nasehat di atas kubur setelah mayit dikuburkan, karena beberapa hal:
  • Yang dilakukan oleh Rasululloh saw saat itu hanyalah memberikan wejangan kepada para sahabatnya tentang perjalanan seorang mu’min maupun kafir setelah meninggal dunia.Dan itupun tidak dilakukan oleh beliau setiap kali mengubur jenazah.
  • Hal itu dilakukan oleh Rasululloh saw sebelum mayit dikuburkan, dan beliau melakukannya saat liang lahad masih digali.(Lihat Subulus Salam oleh Imam Ash Shan’ani 1/577)
Syeikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang: Bagaimana menurut Tuan Syekh, tentang orang yang memberikan ceramah saat pemakaman? Apakah bermasalah kalau dilakukan secara terus-menerus (menjadi kelaziman)?
Jawaban beliau:

Pendapat saya:  Ini bukan sunnah Rasul karena tidak ada riwayat yang datang dari Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam maupun sahabatnya radhiallohu 'anhum. Yang menjadi sandaran dalam masalah ini -mungkin- bahwa Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam pernah keluar mengantar jenazah seorang sahabat Anshar, kemudian duduk dan para sahabat yang lain pun duduk di sekililing beliau sambil menunggu selesai pemakaman. Di waktu itulah Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bercerita kepada mereka tentang keadaan manusia ketika mati dan setelah dikuburkan. Demikian pula ketika sedang menguburkan mayit, beliau pernah bersabda:

"Tidak ada seseorang dari kalian kecuali ia telah dicatat tempat kembalinya; ke Surga atau ke Neraka." Akan tetapi Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam tidak berceramah dengan berdiri seperti yang dilakukan sebagian orang. Beliau hanya menyampaikan peringatan dalam sebuah majlis yang tidak diulang-ulang. Kalau misalnya seseorang duduk,dan orang-orang di sekitarnya ikut duduk sambil menunggu selesainya pemakaman, kemudian ia bercerita seperti yang disampaikan oleh Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam, hal itu tidak mengapa bahkan merupakan sunnah. Adapun kalau dilakukan dengan berdiri seperti khatib sedang khutbah, maka hal seperti ini tidak termasuk sunnah.

Jadi menurut kami hal itu tidak perlu dilakukan. Karena  setahu kami, tidak ada di kalangan para sahabat dan tabi’in  (ulama salaf) yang melakukan ceramah atau nasehat setelah jenazah dikuburkan. Dan dalam riwayat di atas  tidak ada perintah untuk memberi ceramah atau nasehat setelah jenazah dikuburkan.

Adapun mendo’akan si mayit setelah dikuburkan agar diampuni dosa-dosanya dan diberi kemantapan untuk bisa menjawab pertanyan kubur adalah merupakan sunnah Rasululloh saw . Sebagaimana hadits : Dari Utsman bin Affan berkata : Apabila Rasululloh telah selesai menguburkan mayit, maka beliau berdiri padanya dan bersabda : Mohonlah ampun untuk saudara kalian, dan mohonlah kemantapan baginya, karena dia sekarang ditanya.” (HR. Abu Dawud 2/70, Hakim 1/370, Baihaqi 4/56, Abdulloh bin Ahmad dalam Zawaid Zuhd hlm : 129. Berkata Hakim : Sanadnya shahih dan disepakatai oleh Adz Dzahabi, berkata An Nawawi : Sanadnya bagus, Berkata syaikh Al Albani : hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Hakim dan Dzahabi. Lihat Ahkamul Janaiz no : 107)

Jadi setelah jenazah dikuburkan, disunahkan bagi orang-orang yang mengantar untuk berdiam sejenak di sisi kuburannya guna mendoakannya. Wallohu a’lam.
Demikian jawaban dan penjelasan kami semoga bisa dipahami.   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar


LAZISMU Surabaya

LAZISMU Surabaya
Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah Surabaya

MARI BERAMAL NYATA

MARI BERAMAL NYATA