oleh ; SUYADI, S.Pd
Hijrah merupakan momentum dan tonggak kebangkitan umat Islam, sekaligus cikal bakal penyebaran ajaran Islam hingga ke berbagai belahan dunia. Inilah salah satu metode yang dilakukan Rasulullah untuk keluar dari berbagai macam tekanan baik secara lahir maupun batin, walaupun untuk menggapainya diperlukan pengorbanan yang tidak sedikit, bukan hanya harta tetapi nyawapun menjadi jaminannya. Namun demikian, hingga saat ini masih banyak tudingan minor yang dialamatkan kepada Rasulullah dan umat Islam saat itu, terutama orang-orang yang tidak suka kepada Islam, diantaranya Umat Islam dianggap pengecut karena lari dari kenyataan, padahal hijrah merupakan bagian dari strategi perjuangan umat Islam, dan faktanya Islam berkembang begitu pesat setelah “keluar” dari Mekkah.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah umat Islam masih mengingat pesan-pesan mulia dari peristiwa tersebut ataukah telah melupakannya? Apakah umat islam masih memahami nilai-nilai history hijrah dan menjadikannya bagian dalam kehidupannya ataukah sudah menguburnya ? Apakah konteks hijrah saat itu dijadikan sebagai titik balik dalam perjuangan kehidupannya ataukah sudah hilang tanpa bekas ? Inilah beberapa kekhawatiran yang berkecamuk dalam fikiran kita tatkala hijrah hanya dimaknai sebatas peringatan seremonial yang jauh dari nilai dan makna perjuangan.
Secara umum hijrah memiliki dua dimensi, pertama hijrah makani, yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik dan kondusif sebagai bagian dari strategi hidup untuk mendapatkan peluang yang lebih baik, kedua hijrah maknawi yaitu perubahan paradigma, berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran dari kekufuran menuju keislaman. Dalam konteks kekinian, hijrah maknawi nampaknya yang harus lebih diprioritaskan, untuk menguatkan nilai-nilai perjuangan yang ada di dalamnya, diantaranya adalah :
Pertama: Hijrah dalam keyakinan (i'tiqadiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah meninggalkan segala bentuk “tuhan duniawi” . Kesalahan mendasar yang sering dilakukan manusia adalah munculnya inkonsistensi dalam kehidupannya yang berpotensi memunculkan “tuhan-tuhan” baru yang tidak proposional, padahal yang dikehendaki islam adalah keseimbangan antara dunia dan akherat : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi." (Al Qashash [28]:77)
Kedua: Hijrah dalam pola ibadah (Ta'abbudiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah pemahaman bahwa ibadah bukan hanya ritual yang berdimensi vertikal tetapi juga horizontal, ibadah bukan hanya dialog dengan sang pencipta tetapi menyambung nilai-nilai sosial kemasyarakatan, ibadah bukan hanya shalat, puasa, zakat, haji dan ritual fiqh lainnya, tetapi ikut peduli manakala ada saudara dan tetangga yang tidak bisa makan, ikut prihatin dan peduli manakala ada saudara kita yang tidak bisa sekolah, dan kepedulian-kepedulian lainnya.
Ketiga: Hijrah dalam bentuk moral dan etika (Akhlaqiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah mengingatkan kita agar tidak mudah mengumbar kata dan prilaku tercela yang menyebabkan orang lain tersinggung dan sakit hati, kemampuan kita dalam menjaga tutur kata dan prilaku merupakan bukti nyata keseriusan kita dalam memaknai hijrah yang sesungguhnya, bukankah rasul senantiasa mengingatkan kita : “ berkata yang baik, kalau tidak bisa , diam”
Keempat: Hijrah dalam pemikiran dan budaya (Aqliyah Tsaqafiyah). Dalam konteks ini hijrah diartikan sebagai pemahaman bahwa manusia adalah makhluq pilihan dan istimewa manakala mampu memaksimalkan potensi intelektualnya dan dan menjadikannya sebagai “jembatan” untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Kelima: Hijrah dalam institusi keluarga (Usrawiyah). Yaitu tekad dan komitman baru untuk melakukan perubahan dalam pola pembangunan keluarga dan menjadikannya sebagai basis pembinaan dan perjuangan, Keluarga disebutkan secara khusus karena keluarga merupakan institusi terpenting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Gagalnya institusi keluarga merupakan kegagalan dalam institusi dalam kemasyarakatan yang lebih luas.
Keenam: Hijrah dalam konteks sosial kemasyarakatan ( Ijtima'iyah). Hijrah dalam konteks ini berupa tekad dan komitmen dari semua anggota ummat ini untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif dalam kehidupan jama'ahnya, dalam segala skala kehidupannya, baik politik, ekonomi, legal, hukum dan lain-lain. Untuk mencapai perubahan ini, di perlukan strategi-strategi yang sesuai,
Oleh karena itu sudah seharusnya kita melakukan perombakan paradigma dalam memahami hijrah, hijrah dalam kontek kekinian adalah hijrah mental dan perilaku untuk membangun kondisi yang lebih baik. “Hijrah dari perilaku yang kurang baik ke prilaku yang lebih baik, dari perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri kepada perilaku yang peduli terhadap orang lain, dari perilaku kehidupan bebas nilai kepada kehidupan yang terikat dengan nilai-nilai agama dan akhlakul karimah,” hijrah juga dapat dimaknai berpindah dari kondisi hidup yang kurang baik kepada kondisi hidup yang lebih layak dan sejahtera. Untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, semoga momentum hijrah menjadikan kita pribadi-pribadi yang tangguh dan bermartabat.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan
Sambut Ramadhan 1442 Hijriyah
TV MUHAMMADIYAH (ADiTV Jogja)
# Langsung live dari Adi-TV Jogjakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar