Lebih dari 270 kepala daerah atau pejabat eksekutif terlibat kasus suap dan korupsi. Itu pernyataan Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu. Sebagian besar adalah bupati dan walikota. Sebagian lagi gubernur. Itu terjadi pada era pemerintahan yang sedang berjalan ini. Bila jumlah kepala daerah 500 orang, berarti lebih dari separuh pejabat negara terjerumus pada tindak pidana kriminal yang sangat memalukan.
Fakta yang tidak kalah mencengangkan, biang suap dan kurupsi terbesar terjadi di kalangan legislatif. Para wakil rakyat itu terbukti terlibat perilaku yang sangat tidak terpuji. Mereka mamanfaatkan proyek-proyek siluman sebagai lumbung untuk mengeruk harta haram demi memperkaya diri, kroni dan partainya.
Berbagai kasus suap dan korupsi yang mencuat juga membuka kedok busuk yang mencengangkan publik. Seorang petinggi Mahkamah Konstitusi (MK) tertangkap tangan menerima suap dalam jumlah yang sangat menyentak. Belakangan KPK berhasil membongkar kasus suap Ketua MK yang terbukti melibatkan banyak pihak dalam sebuah jaringan mafia pemenangan Pilkada baik di tingkat gubernur, bupati, maupun walikota.
Suap dan korupsi ternyata nyaris merata terjadi dan dilakukan para elit kita di semua lapisan. Tidak ada departemen yang bersih. KPK sudah lama membongkar tindak kriminal itu di hampir semua institusi, termasuk institusi kejaksaan, kepolisian, kementerian, perbankan, BUMN dan lainnya. Belum terhitung para petinggi partai. Tidak kurang dari seribu trilyun rupiah uang negara raib dan hanya sebagian kecil yang berhasil diselamatkan. Para pejabat korup itu selain terbukti melakukan suap dan korupsi, juga melakukan pencucian uang guna menghilangkan jejak kejahatan. Istri, kerabat, anak, staf hingga sopir ternyata mereka libatkan dalam kasus pencucian uang haram tersebut.
Para pejabat yang terlibat kasus suap dan korupsi itu tentu bukan orang awam. Mereka elit hukum, menyadari sumpah jabatan, tahu resiko hukum dan moral akibat tindakan mereka. Lantas, untuk apa mereka melakukan korupsi dan suap? Jelas, itu bukan karena khilaf semata. Ini faktor nafsu syahwat para pejabat dan wakil rakyat terhadap harta dan tahta yang telah membutakan hati nurani dan akal sehat. Padahal, sebagian pelaku kejahatan itu adalah elit dan pakar agama. Jelas, agama tidak mereka jadikan sebagai sumber kebenaran. Esensi agama sebagai nilai absolut yang semestinya menjadikan jabatan mereka sebagai amanah kehidupan, ladang pengabdian, ketundukan dan ketaatan kepada Alloh, Robb semesta alam, Dzat Yang Maha Kuasa, ternyata mereka khianati. Bagi mereka, uang dan jabatan adalah tuhan yang mahakuasa. “Sudahkah engkau melihat orang yang menuhankan nafsunya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau, apakah engkau mengira mereka mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat jalan hidupnya!” demikian tegas Al-Qur’an Surat Al-Furqon ayat 43-44. Subhanalloh, na'udzubillah! (Abdul Hakim, Pimred).
Sambut Ramadhan 1442 Hijriyah
TV MUHAMMADIYAH (ADiTV Jogja)
# Langsung live dari Adi-TV Jogjakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar