Oleh : Ikrimah Nurur Rasyidah.
Ada rumor di masyarakat “ Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Begitulah kilah sebagian orang ketika diingatkan untuk mencari rezeki yang halal. Mungkin akibat prinsip itu dipegang banyak orang, kini begitu gampang pula orang berbelanja yang haram. Coba, tanyakan kepada mereka yang biasa membuat cake, niscaya terbiasa membeli rum dan menggunakannya sebagai pengharum cake buatannya. Padahal, rum adalah khomer kelas berat. Kandungan alkoholnya berkisar antara 37% - 78%. Inilah yang membuat cake yang dicampurinya beraroma harum dan mengandung sedikit rasa pahit.
Nah, sebagai konsumen yang menginginkan produk yang halal dan baik, Anda dituntut ekstra hati-hati dalam menyeleksi belanjaan. Apalagi bila Anda tergolong peminat dan penikmat produk-produk olahan modern. Dulu, orang membuat roti cukup dengan menggunakan bahan dasar terigu, ragi dan air. Sekarang, selain bahan tadi, harus dicampur pula bahan tambahan makanan (BTM) seperti shortening (mentega putih), perisa atau flavor (bahan untuk menimbulkan aroma dan rasa tertentu), dan anticacking agent. BTM yang sulit dikenali asal-usulnya oleh konsumen awam ini, bila diteliti lebih lanjut, ternyata bisa berpangkal pada komponen babi.
Kalau Anda menemukan minuman dengan label bertuliskan “alcohol-free beer”, ia sebenarnya tidak benar-benar bebas alkohol. Bahkan, menurut Dr Anton Apriyantono, kadar alkoholnya bisa mencapai 1%. Bir jenis ini dapat dibuat dengan mendistilasi (menyuling) bir.
Begitu pula kalau Anda di rumah makan tertarik meminum punches, maka periksalah, sebab minuman ini biasanya merupakan campuran dari; wine, air soda dan buah-buahan.
Bila Anda membeli coklat impor, telitilah! Karena cukup banyak yang mengandung bahan-bahan seperti rum, brandy atau wine (sherry wine). Coklat dengan rasa sherry wine biasanya coklatnya mengandung buah sherry, dan di dalamnya terkandung sherry wine.
Di Jerman khususnya, dan negara-negara Barat umumnya, terdapat aturan penamaan sosis. Misalnya : Jika hanya disebut sosis, maka sudah otomatis dari babi, baik lemak ataupun dagingnya; Jika disebut sosis sapi, maka dagingnya sebagian besar dari daging sapi, namun lemaknya bisa dari mana saja dan umumnya adalah dari lemak babi. Jika sosisnya semuanya dari sapi dan tanpa bahan dari hewan lain, maka penamaannya harus disebutkan nama hewannya dan ditambahkan kata murni, jadi harus “Sosis Sapi Murni”.
Penamaan sosis menjadi lebih kompleks untuk produk-produk pate atau dapat diterjemahkan sebagai sosis pasta atau sosis pasta hati. Masalahnya dengan penamaan sosis pasta ini yaitu seringkali nama tidak menggambarkan kandungan yang sebenaranya. Sebagai contoh, sosis pasta hati tidak hanya mengandung bahan-bahan dari sapi saja, akan tetapi dapat juga hatinya berasal dari babi, begitu juga lemaknya (Wihelm, 1987).
Di beberapa daerah di Indonesia, darah beku (dideh atau marus) digoreng atau direbus, untuk dimakan. Di negara-negara Eropa darah juga dimakan, namun dibuat menjadi produk sejenis sosis. Di Jerman dikenal berbagai bentuk sosis yang menggunalan bahan baku dari darah, seperti sosis Thueringer, sosis lidah, sosis darah dan tetelan.
Darah juga bisa dipisahkan plasma darah dan serum darahnya, lalu dikeringkan menjadi plasma darah kering. Plasma ini digunalan sebagai bahan pembantu dalam proses pengolahan pangan selanjutnya, misalnya boving plasma protein isolate (isolat plasma darah). Ini digunakan untuk menggantikan sebagian tepung gandum pada pembuatan roti. Juga dapat digunakan sebagai bahan pengganti sebagian putih telur pada pembuatan kue.
Produk lain yang dapat dihasilkan dari darah adalah gel fibrin. Ia dapat ditambahkan pada daging mentah sehingga membentuk reformed meat products. Daging yang dibuat dengan menambahkan gel fibrin disebut super glue steks dan telah dipasarkan di Inggris. Darah, terutama darah kering, juga dapat digunakan sebagai pewarna merah dalam makanan.
Masih banyak lagi bahan-bahan konsumsi (makana) haram lain, yang juga tidak banyak dikenal oleh konsumen. Pengusaha pun, sengaja atau tidak, tidak menginformasikan produknya atau tidak mencantumkan bahan-bahan dasarnya pada makanan yang diproduksinya secara jujur. Atau makanan yang dijual belum / tidak ada sertifikat (labelisasi) dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Padahal, sebagian besar dari produk-produk bermasalah itu justru akrab menemani makanan, obat, maupun kosmetik kaum muslimin. Oleh karenanya saya menghimbau kepada kaum muslimin agar berhati-hati apabila membeli makanan/minuman dan lain-lain. Atau paling tidak belilah makanan / minuman dan lain-lain yang sudah ada lebel / serifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan awas jangan tertipu dengan tulisan halal, sebab tulisan tersebut belum bisa dijamin ke halalannya.
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Sambut Ramadhan 1442 Hijriyah
TV MUHAMMADIYAH (ADiTV Jogja)
# Langsung live dari Adi-TV Jogjakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar