“Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan". (Q.S. Al-Ma'idah : 8)
Sudah berbuat adilkah kita terhadap anak-anak? Bila jawabnya belum, lalu apa tindakan kita? Bila “sudah” manfaat apa yang kita petik dari arti keadilan tersebut?
~~~~~~~~~
Memang kita akui bahwa bila kita berbicara tentang pendidikan terutama pendidikan anak, saat itu pula kadang unsur keadilan menyelinap di dalamnya. Bukankah kita sering mendengar kabar bahwa akibat perlakuan yang tidak atau kurang adil dari orang tua akan berpengaruh buruk terhadap penilaku anak; misalnya ada anak melawan orang tua, murid berantem sama gurunya, dan lebih tragis lagi sang anak tega membunuh orang tuanya sendiri. Dan masih banyak contoh lainnya. Ini semua gara-gara perlakuan yang tidak adil.Seiring dengan topik pembicaraan kita kali ini, penulis ingin menguraikan sedikit tentang pengertian keadilan dan kapan konsep keadilan itu diajarkan kepada anak-anak.
Keadilan. Penulis percaya bahwa tidak semua orang tahu apa arti keadilan sesungguhnya. Kalau toh ada barang kali sangatlah sedikit sekali. Dan itupun hanya mereka yang tergolong orang bijak. Mengapa sampai demikian? Karena begitu esensialnya arti yang terkandung dalam kata keadilan itu sendiri. Beberapa ahli filsafat terkemuka telah memberikan definisi tentang keadilan. Sokrates misalnya, beliau berpendapat bahwa keadilan itu bentuknya macam-macam, satu di antaranya ialah bilamana Pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling pengertian yang baik. Bila para penguasa sudah pada mematuhi dan mempraktekkan ketentuan-ketentuan hukum dan bila pimpinan Negara bersikap bijaksana serta memberi contoh kehidupan yang baik. Tegasnya keadilan itu tercipta bila setiap warga sudah dapat merasakan bahwa pihak Pemerintah (Pejabat), sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Mungkin di antara kita ada yang bertanya mengapa Sokrates menitikberatkan pada Pemerintah kok tidak pada rakyat atau lainnya? Karena Pemerintah adalah Pemimpin rakyat, merekalah yang pokok. Bila terjadi ketidakadilan dalam masyarakat, mereka itulah yang kurang teliti dalam menjalankan hukum, kurang adil dalam memerintah dan kurang baik dalam memberikan contoh. Itu memang konsekuensi bagi orang yang dipilih jadi Pemerintah. Ini sesuai dengan anjuran Bapak Menteri Kehakiman kita Ismail Saleh, SH. Beliau pernah berkata “hanya air yang bersih sajalah yang dapat membersihkan tempat yang kotor” dan untuk menjadikan lingkungan kita bersih kita harus bersih dulu, artinya kita harus dapat rnemberikan contoh yang baik terhadap sesama.
Aristoteles lain lagi. Beliau berpendapat bahwa keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia (Faireer in human action) kelayakan diartikan sebagai titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu sedikit, kedua ujung ekstrim tersebut menyangkut dua orang atau 2 (dua) benda. Bahkan Aristoteles menyimpulkan keadilan itu ada 2 (dua) macam yaitu keadilan yang bersifat distributif dan komulatif. Distributif orientasinya pada jasa yang diraihnya oleh individu sedangkan komulatif berorientasikan pada pembagian itu sendiri yaitu merata tidaknya pembagian tersebut. Lain Aristoteles lain pula Imam Gozali dalam bukunya yang berjudul “Konsep pendidikan menurut Islam”. Beliau mengatakan bahwa adil itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebagai contoh misalnya, Pak Amat mempunyai 2 (dua) anak laki-laki. Satu berumur 10 tahun dan satunya lagi berumur 5 tahun. Kebetulan Pak Amat ingin membelikan baju untuk mereka, maklum menjelang lebaran. Apa yang diperbuat oleh Pak Amat? Haruskah ia membelikan baju dengan harga dan ukuran yang sama? Tentu jawabannya “tidak”. Harga mungkin bisa sama tapi ukuran pasti berbeda. Begitulah gambaran sekilas tentang penerapan keadilan menurut Imam Gozali, tentu saja ide tersebut diwarnai oleh ajaran Islam. Nah sekarang kapan dan bagaimana mengajarkannya kepada anakanak kita?
Sejak Dini. Untuk pertanyaan yang pertama jawabannya tidak terlalu sulit tetapi sangat menentukan. Waktu yang tepat kapan dimulainya penanaman nilai-nilai keadilan pada anak-anak yaitu pada saat anak sudak mampu membedakan mana yang disukai dan mana yang tidak, baik buruk. Atau dengan perkataan lain sejak anak mengenal norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana ia dilahirkan, yaitu sekitar umur 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun. Bila pada masa itu anak sudah diajarkan tentang nilai-nilai keadilan maka besar kemungkinan perkembangan mental akan lebih baik. Masalahnya sekarang bagaimana mengajarkan konsep keadilan yang dimaksud pada mereka? Tentu banyak cara yang dapat ditempuh akan tetapi perlu kita ingat bahwa tidak semua cara yang kita pakai selalu sesuai dengan lingkungan yang ada. Atau dengan kata lain penerapan metode itu harus disesuaikan dengan sikon (situasi dan kondisi). Dalam hal ini ada 2 (dua) cara yang dapat kita tempuh, pertama secara lisan (verbal) dan kedua secara perbuatan (factual Action).
Verbal. Cara ini sebenarnya cukup mudah dan kami yakin setiap orang dapat melakukannya. Hanya saja membutuhkan waktu yang cukup dan suasana yang santai. Kita tahu bahwa anak kecil dimana-mana senang bila diceritakan apa lagi isi ceritanya menarik bagi mereka ; Seperti cerita tentang kepahlawanan, petualangan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang tinggi, misalnya kejujuran, keberanian, ketabahan, keadilan dan kepatuhan. Pendek kata cerita-cerita tersebut dapat menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri. Sekedar contoh kita bisa saja menceritakan kepada anak-anak tentang “tokoh si kancil yang suka mencuri mentimun”. Dalam cerita tersebut, bahwa si kancil akhirnya ditangkap oleh pak tani dan kemudian ia disekap dalam kurungan, tentu anak-anak bertanya mengapa kancil dikurung? Jawabannya karena kancil telah mencuri mentimun. Sebagai ganjarannya is harus dihukum. Mengapa harus dihukum? Karena kancil berbuat melanggar norma yaitu mengambil hak orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Itulah yang namanya keadilan. Atau dengan cerita-cerita lain yang lebih menarik dan mudah dimengerti. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kesenjangan antara usia anak dan usia baca. Sehingga apa yang kita berikan tidak sia-sia.
Perbuatan. Agaknya cara kedua ini lebih sulit dari yang pertama namun bila ada kemauan yang keras tentu kesulitan itu akan terasa mudah. Memang kita akui bahwa berbuat itu jauh lebih sulit dari sekedar kata-kata. Pepatah Cina mengatakan bahwa seribu kata belum tentu orang mengerti tapi sebuah gambar atau contoh mungkin orang akan lebih mudah mengerti. Agaknya ada benarnya juga pepatah di atas. Di sinilah sebenarnya peran dari orang tua sangat diperlukan yaitu sering-seringlah memberikan contoh kepada anak-anak kita dalam segala bentuk perbuatan, tentu saja contoh yang baik. Dalam soal keadilanpun kita bisa saja memberikan contoh perbuatan yang praktis misalnya suruhlah anak-anak mengerjakan soal Matematika. Lalu kita tentukan kriteria penilaiannya, misalnya bila anak dapat menyelesaikan 7 (tujuh) dari 10 soal yang telah diberikan maka akan diberi satu batang coklat, tapi bila hanya 5 (lima) soal yang dapat diselesaikan maka si anak akan menerima separuh batang coklat dan bila kurang dari 5 (lima) soal maka si anak tidak mendapat sama sekali. Dengan demikian akan nampak sekali nilai-nilai keadilan akan mudah dimengerti oleh anak-anak bahwa hadiah yang diterima sesuai dengan usaha atau jasa yang mereka raih. Ini baru satu contoh tentu masih banyak contoh lain yang lebih menarik dan bersifat mendidik. Kami percaya pembaca tentunya mempunyai banyak cara. Silahkan mencoba.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “keadilan” dan “pendidikan” mempunyai kaitan yang erat. Dan keadilan itu sendiri akan lebih mudah dipahami jika mulai sejak kecil anak sudah diajarkannya. Setidak-tidaknya diperkenalkannya. Untuk menjembatani hal tersebut ada 2 (dua) cara yang dapat ditempuh yaitu pertama lewat lisan (verbal) dan kedua lewat perbuatan (performance). Semoga tulisan ini dapat dijadikan pedoman dalam mendidik putra-putri kita khususnya dalam hal memahami arti keadilan.
CHOIRUL AMIN
Anggota Majelis Pustaka & Informasi PDM Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar