oleh : ustadz IMANAN
Pertanyaan:
Assalammu‘alaikum
Wr. Wb. Ust.
Mohon dijelaskan tentang Apa hukum
mentalqin mayit setelah dikuburkan dengan dibacakan di atas kubur ,misalnya: Man
Imamuka, man Nabiyuka… dst, jika ada haditsnya bagaimana kedudukan hadits
tersebut? Apakah boleh memberikan
ceramah atau nasehat serta berdoa di atas kuburan setelah selesai dikuburkan ? (Abdul
Hamid pembaca Lazismu di Surabaya)
Jawaban: Wa’alaikumussalam
Warahmatullohi. Wabarakatuh..
Talqin
di atas kuburan yang biasanya dilakukan setelah jenazah dikuburkan, dalam hal
ini ada yang berpendapat hukumnya
dibolehkan, mereka berhujjah dengan hadits di bawah ini : Dari
Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau
jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para
pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan
katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah
Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul Maram no hadits 605,
Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf
(dinisbatkan kepada shahabat). Imam Ath Thabrani meriwayatkan hadits di atas
dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin
Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].
Diriwayatkan
dari Abu Umamah al-Bahili r.a., dia berkata, "Jika aku meninggal, maka
perlakukanlah diriku seperti apa yang diperintahkan Rasululloh saw. kepada kami
dalam mengurus jenazah. Rasululloh saw. mengatakan kepada kami, "Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal dunia,
lalu kalian telah menimbunkan tanah di kuburnya, maka hendaklah salah satu dari
kalian duduk bagian kepalanya dan berkata, "Wahai Fulan bin Fulanah."
Mayat itu mendengar ucapannya tapi dia tidak menjawab. Lalu orang itu berkata
lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu duduk. Kemudian dia
berkata lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu berkata,
"Berilah petunjuk pada kami, semoga Allah merahmatimu." Namun, kalian
semua tidak akan merasakan hal itu. Kemudian hendaklah orang yang mentalkin itu
mengatakan, "Ketika kamu meninggalkan dunia, ingatlah syahadat bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan
bahwasanya kamu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamamu,
Muhammad sebagai nabimu dan Alquran sebagai pemimpinmu." Maka malaikat
Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan mereka dan berkata, "Marilah
kita pergi. Untuk apa kita duduk pada orang yang telah diajarkan hujjahnya."
Dan Allah menjadi hujjah baginya dari pertanyaan dua malaikat itu."
Lalu salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibunya tidak diketahui?" Maka beliau pun menjawab, "Hendaknya dia menisbatkannya pada Hawa. Yaitu dengan mengatakan, "Wahai Fulan bin Hawa." (HR. Thabrani, Ibnu Syahin dan lainnya).
Hadits inilah yang menjadi dasar
berpijak orang-orang yang melakukan talqin setelah mayit selesai dikuburkan.
Mereka duduk disisi kuburan lalu berkata : Wahai bapak / ibu fulan, engkau
nanti akan didatangi dua malaikat, keduanya akan menanyakan kepadamu begini dan
begitu….dst”
Mengingat bahwa mentalqin mayit
seakan-akan menjadi sebuah kelaziman (tuntunan) di negeri kita ini, maka harus
diketahui derajat hadits tersebut.
Takhrij
hadits :
- Diriwayatkan oleh Imam Ath Thabrani
dalam Ad Du’a dan Mu’jam al Kabir 8/289 no : 7979 berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Uqail Anas Al Khaulani berkata : ”
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim al Ala’ berkata
: “Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ayyasy, berkata :
“Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad Al Qurasyi
dan Yahya bin Abi Katsir dari Sa’id bin Abdulloh al Audi.
- Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Al Khal’i dalam Al Fawa’id 2/55 dari Abu Darda’ Hasyim bin
Muhammad al Anshari berkata : “Telah menceritakan kepada kami Utbah
bin Sakan dari Abu Zakariya dari Jabir bin Sa’id Al Azdi
berkata : Saya masuk menemui Abu Umamah Al Bahili saat beliau
sedang sakaratul maut, – Kemudian beliau menyebutkan hadits diatas-.
Derajat
hadits :
- Hadits riwayat Ath Thabrani,
dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 3/45: Dalam
sanadnya banyak perawi yang tidak saya kenal (majhul).
- Sedangkan riwayat Al Khal’i,
maka lebih parah lagi, karena selain banyaknya beberapa rawi yang majhul,
ternyata Utbah bin Sakan adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya
bahkan tertuduh memalsukan hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Daruquthni dan Imam Baihaqi.
- Berkata Ibnu Shalah :
Sanadnya tidak bisa dijadikan hujjah.
- Al Imam An Nawawi juga melemahkannya, sebagaima
dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 5/304 dan al Fatawa hal : 54.
- Berkata Syaikhul Islam ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 24/296 : Hadits ini tidak dihukumi shahih.
- Berkata Imam Ibnul Qayyim
dalam Zadul Ma’ad 1/523 : “ Hadits ini tidak shahih secara marfu’.” Beliau
juga berkata dalam Tahdzibus Sunan : “Hadits ini disepakati akan
kelemahannya.”
- Imam Al Iraqi juga melemahkannya dalam
takhrij Ihya’ 4/420.
- Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam Nata’ijul Afkar dan Fathul Bari 10/563 : Hadits ini lemah sekali.
- Hadits ini juga dilemahkan oleh
Zarkasyi dalam Al La’ali al Manstsurah hal : 59, As Suyuthi
dalam Ad Durar al Manstsurah hal : 25 .
- Berkata Imam Ash Shan’ani
dalam Subulus Salam 2/122 : “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al
Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani
dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang
tidak saya kenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa
dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim
bin Abdulloh dan dia adalah seorang perawi yang lemah
- Berkata Syaikh Al Albani
: Kesimpulannya bahwa hadits ini munkar, jika bukan malah palsu.
Syeikh
Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin.
Jawaban beliau, “Talqin itu dilakukan ketika hendak
meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa (sakaratul maut). Orang
yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illalloh sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi
mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaha
illalloh, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu di
hadapan Alloh’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati
dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amalan bid’ah karena
tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya
dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika
telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu berkata, ‘Mohonkanlah
ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam
memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya’.
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amalan bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amalan bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).
Syeikh Al-Albany mengategorikan
amalan ini (mentalqin maiyit) adalah amalan
bid’ah di dalam hal peawatan jenazah (lihat Ahkamul Janaiz hal: 217, maktabatul
ma’arif), demikian pula Syeikh Abdulloh bin Baz (lihat Majmu’ dan Rasail
beliau 10/361). Lihat juga Fatawa Al-lajnah Ad-daimah 9/72.
Jadi yang bisa kita simpulkan dari
perkataan para ulama peneliti hadits, bahwa sesungguhnya hadits tentang talqin
di atas adalah hadits yang lemah sehingga mengamalkan adalah bid’ah
(amalan yang tidak ada tuntunannya). Tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang
yang mempraktekkannya.
Untuk memberikan ceramah atau
nasehat setelah jenazah dikuburkan, ada yang berpendapat dibolehkan, mereka
berdalil dengan hadits ; Dari Bara’ bin Azib berkata : “Kami keluar bersama Rasululloh saw
untuk menguburkan jenazah salah seorang sahabat Anshar, dan sampailah kami ke
pekuburan ternyata lubang kuburnya belum digali, maka Rasululloh saw duduk menghadap ke kiblat dan kita pun
duduk disekeliling beliau seakan-akan dikepala kami ada burung yang hinggap, Rasululloh
saw memegang batang kayu dan menggaris-gariskannya ketanah, lalu beliau melihat
ke langit lalu kebumi, beliau juga mengarahkan pandangan keatas kemudian
menurunkannya, lalu beliau bersabda : “Berlindunglah kalian kepada Alloh dari
adzab kubur.” lalu beliau berdoa : Ya Alloh, sesungguhnya saya berlindung
kepadaMu dari adzab kubur ( 3X ), kemudian beliau bersabda : -tentang
perjalanan seseorang mu’min maupun kafir setelah meninggal dunia- (Shahih, HR. Abu Dawud , Hakim 1/37,
Thayalisi : 753, Ahmad 4/287, Lihat takhrij secara lengkap pada Ahkamul Jana’iz
oleh Imam Al Albani hal : 202)
Hadits ini tidak bisa dijadikan
dalil untuk berhujjah dibolehkan memberi ceramah atau nasehat di atas kubur
setelah mayit dikuburkan, karena beberapa hal:
- Yang dilakukan oleh Rasululloh saw
saat itu hanyalah memberikan wejangan kepada para sahabatnya tentang
perjalanan seorang mu’min maupun kafir setelah meninggal dunia.Dan itupun
tidak dilakukan oleh beliau setiap kali mengubur jenazah.
- Hal itu dilakukan oleh Rasululloh
saw sebelum mayit dikuburkan, dan beliau melakukannya saat liang lahad
masih digali.(Lihat Subulus Salam oleh Imam Ash Shan’ani 1/577)
Syeikh
Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang: Bagaimana
menurut Tuan Syekh, tentang orang yang memberikan ceramah saat pemakaman? Apakah
bermasalah kalau dilakukan secara terus-menerus (menjadi kelaziman)?
Jawaban beliau:
Pendapat
saya: Ini bukan sunnah Rasul karena
tidak ada riwayat yang datang dari Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam
maupun sahabatnya radhiallohu 'anhum. Yang menjadi sandaran dalam masalah ini
-mungkin- bahwa Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam pernah keluar mengantar
jenazah seorang sahabat Anshar, kemudian duduk dan para sahabat yang lain pun
duduk di sekililing beliau sambil menunggu selesai pemakaman. Di waktu itulah
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bercerita kepada mereka tentang keadaan
manusia ketika mati dan setelah dikuburkan. Demikian pula ketika sedang
menguburkan mayit, beliau pernah bersabda:
"Tidak ada
seseorang dari kalian kecuali ia telah dicatat tempat kembalinya; ke Surga atau
ke Neraka." Akan tetapi Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam tidak
berceramah dengan berdiri seperti yang dilakukan sebagian orang. Beliau hanya
menyampaikan peringatan dalam sebuah majlis yang tidak diulang-ulang. Kalau misalnya
seseorang duduk,dan orang-orang di sekitarnya ikut duduk sambil menunggu
selesainya pemakaman, kemudian ia bercerita seperti yang disampaikan oleh Rasululloh
shallallohu 'alaihi wasallam, hal itu tidak mengapa bahkan merupakan sunnah.
Adapun kalau dilakukan dengan berdiri seperti khatib sedang khutbah, maka hal
seperti ini tidak termasuk sunnah.
Jadi menurut
kami hal itu tidak perlu dilakukan. Karena setahu kami, tidak
ada di kalangan para sahabat dan tabi’in
(ulama salaf) yang melakukan ceramah atau nasehat setelah jenazah
dikuburkan. Dan dalam riwayat di atas
tidak ada perintah untuk memberi ceramah atau nasehat setelah jenazah
dikuburkan.
Adapun mendo’akan si mayit setelah
dikuburkan agar diampuni dosa-dosanya dan diberi kemantapan untuk bisa menjawab
pertanyan kubur adalah merupakan sunnah Rasululloh saw . Sebagaimana hadits : Dari
Utsman bin Affan berkata : “Apabila
Rasululloh telah selesai menguburkan mayit, maka beliau berdiri padanya dan
bersabda : Mohonlah ampun untuk saudara kalian, dan mohonlah kemantapan
baginya, karena dia sekarang ditanya.” (HR. Abu Dawud 2/70, Hakim 1/370,
Baihaqi 4/56, Abdulloh bin Ahmad dalam Zawaid Zuhd hlm : 129. Berkata Hakim :
Sanadnya shahih dan disepakatai oleh Adz Dzahabi, berkata An Nawawi : Sanadnya
bagus, Berkata syaikh Al Albani : hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Hakim dan Dzahabi. Lihat Ahkamul Janaiz no : 107)
Jadi setelah jenazah dikuburkan,
disunahkan bagi orang-orang yang mengantar untuk berdiam sejenak di sisi
kuburannya guna mendoakannya. Wallohu a’lam.
Demikian
jawaban dan penjelasan kami semoga bisa dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar