Oleh Ir. Sudarusman (Kepala SMP Muhammadiyah 2 Surabaya)
Menentukan pilihan bagi sekolah terlihat sederhana. Yakni, diha-rapkan sekolah terhindar dari peserta didik yang terjerumus kenakalan. Peserta didik nakal dianggap sebagai pe-nyakit atau benalu. Kenakalan itu bukan sebagai tantangan untuk menjadikan pe-serta didik lebih baik bagi masa depannya. Namun, sekolah justru membuang dengan cara terhormat, seperti mengeluarkan tanpa peringatan, menaikkan kelas dengan syarat keluar dari sekolah, dan lain-lain.
Kecenderungan sekolah lebih su-ka memilih zona aman, agar terlihat ber-bobot dan bermutu. Sekolah yakin bahwa dengan keputusan tidak naik kelas, tidak lulus dan keluar dari sekolah akan mem-permudah pembinaan. Sebab, sekolah akan terhindar dari permasalahan peserta didik yang memiliki pikiran tidak lazim atau terkesan tidak menghargai orang lain.
Pada usia remaja terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan, sehingga timbul dua perubahan yang tidak terhindarkan yang sangat berpengaruh, diantaranya sifat dan perilaku. Dua proses yang memiliki hubungan saling terikat tersebut sangat individu.
Menentukan pilihan, juga terjadi pada lembaga pendidikan unggulan atau sekolah favorit yang dengan mudah mengeluarkan siswa untuk naik kelas dan pindah dari sekolah dikarenakan mereka melanggar tata tertib sekolah dengan kredit poin yang tinggi. Keputusan menge-luarkan siswa diyakini akan mengangkat brand image sekolah, sebagai sekolah unggulan yang tertib dan disiplin.
Padahal, keyakinan mereka tidak selalu benar. Terbukti minimnya sekolah yang memutuskan untuk mengeluarkan serta tidak menaikkan kelas peserta didik. Seharusnya sebagai pelaksana pendidikan harus berpikir panjang dalam mengambil keputusan, terutama dalam menentukan nasib peserta didiknya. Efek dari keputus-an itu juga harus dipikirkan karena me-nyangkut psikis peserta didik. Lainnya yang harus dipikirkan secara matang dan tepat.
Jika ada sangsi, jangan berimbas pada hal-hal yang lebih buruk bagi peneri-manya. Diharapkan dengan sangsi terse-but peserta didik akan menjadi lebih baik perilakunya; bukan sebaliknya. Sebagai pendidik, tentu tidak ingin hal tersebut terjadi. Oleh karena itu dalam menghada-pi kenakalan peserta didiknya mau tidak mau harus menurunkan ego, tidak ingin menang sendiri dan selalu benar. Artinya, sebagai pendidik harus lebih dekat dengan mereka dan mau mengalah.
Yang perlu kita sadari sebagai seorang pendidik, bahwa belajar berdasar-kan pengalaman (educative experiential learning), baik kesalahan maupun keberhasilan yang dirangcang dengan baik melalui sistem pembelajaran di dalam atau di luar kelas adalah pendekatan yang tepat untuk membangun peserta didik berperilaku yang ideal. Pengalaman belajar melalui keberanian melontarkan gagasan kreatif, mengambil resiko serta melakukan hal-hal yang tidak lazim adalah pembelajaran merasakan sendiri tingkat kesulitan, ini semua bisa terjadi kalau guru dan orang tua sebagai pengarah memberikan ruang yang luas. Tetapi, kenyataan dilapangan tidak sedikir guru atau orang tua tidak bisa menerima kesalahan yang dilakukan oleh siswanya, ini terjadi karena kesenjangan pola pikir.
Yang perlu kita sadari, bahwa se-jatinya tidak pernah ada anak yang bodoh dan nakal, apalagi tidak pernah salah. Jika terjadi anak terjerumus kenakalan dan tidak terkendali, maka guru dan orang tua sebagai mikrosistem yang paling bertanggung jawab. Artinya telah terjadi kesalahan dalam memberian pengarahan sebagai pendidik. Sehingga timbul perubahan sifat dan perilaku yang kurang tepat yang sangat berdampak pada kesenjangan pemikiran antara guru, orang tua dengan peserta didiknya, di antaranya:
1. Nalar siswa berpikir keras tidak bisa ditangkap guru atau orang tua.
2. Dalam berinterakasi, guru dan orang tua sebagai pengarah terjadi kesenjangan bahasa, yang disebut dengan mis mix atau tidak mix antara guru atau orang tua dengan siswa atau anaknya.
3. Jiwa kreatifitas, reaktif dan proaktif serta etos kerja membuat sesuatu baru yang dimiliki peserta didik tidak terfasilitasi.
4. Tidak memiliki keberanian untuk gagal, padahal dari kegagalan itu lah bisa mendapatkan keberhasilan.
Mengapa itu terjadi? Karena pe-serta didik merasa memiliki hak. “Keaku-annya mulai timbul, namun tidak terfasili-tasi, sehingga timbul konflik pribadi yang semakin kuat, yang berbanding lurus de-ngan sifat egonya. Oleh karena itu, diperlu-kan figur-figur mikrosistem yang tepat da-lam memberikan bimbingan dan arahan.”
Pada fase ini, mereka biasanya mulai membuat komunitas yang memiliki kesamaan berpikir. Selain itu, fisik mulai kuat, sehingga muncul perilaku yang tidak lazim, emosinya tak terkontrol, serba ingin tahu lebih komplek dan ingin mencoba-co-ba serta merasa dirinya selalu benar. Peri-laku tersebut seharusnya bisa ditangkap dan difasilitasi oleh guru dan orang tua gu-na membentuk etos kerja dengan membu-at sesuatu yang baru, keberanian melaku-kan untuk gagal serta lainnya yang positif.
Jadi sebagai pendidik dituntut lebih kreatif dan proaktif dalam mengikuti per-kembangan dan pertumbuhan peserta didiknya. Ini semua merupakan investasi jangka panjang. Karena apa yang terjadi pada proses pembelajaran saat ini adalah bekal bagi masa yang akan datang. (Kepala SMP Muhammadiyah 2 Surabaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar