Tanya Jawab Agama bersama ustadz Imanan (PDM Surabaya)
Tanya : Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarakatuh. Ustadz, saya mau bertanya; Apa arti Silatur Rahim dan Halal bi Halal ? Apa bedanya Silatur Rahim dengan Halal bi Halal? (Dari Abduh, Pembaca LAZISMU di Sidoarjo).
Jawab : Wa'alaikumus salam Warahmatullohi Wabarakatuh.
Makna Bahasa. Silaturahim (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Di dalam al-Quran, kata al-arhâm terdapat dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim atau kerabat.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah hubungan kekerabatan.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah hubungan kekerabatan.
Pengertian Syar'i. Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah ar-rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan kekerabatan. Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk memutuskan silaturahim. Abu Ayub al-Anshari menuturkan, “Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah saw. menjawab: Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi. (HR al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul saw. pernah bersabda:Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-rahim). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah larangan; ungkapan 'tidak masuk surga' juga merupakan qarînah jâzim, yang menunjukkan bahwa memutus hubungan kekerabatan (shilah ar-rahim) hukumnya haram.
Oleh karena itu, Qadhi Iyadh menyimpulkan, "Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shilah ar-rahim dalam keseluruhannya adalah wajib dan memutuskannya merupakan kemaksiatan yang besar.
Untuk memenuhi ketentuan hukum tersebut, kita harus mengetahui batasan mengenai siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin, dan aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menjalin silaturahim itu?
Dengan menganalisis makna ar-rahim atau al-arham yang terdapat dalam nash, dan pendapat para ulama tentangnya, bisa ditentukan batasan kerabat tersebut. Kata ar-rahim dan al-arhâm yang terdapat di dalam nash-nash yang ada bersifat umum, mencakup setiap orang yang termasuk arhâm (kerabat). Ketika menjelaskan makna al-arhâm pada ayat pertama surat an-Nisa', Imam al-Qurthubi berkata, "Ar-rahim adalah isim (sebutan) untuk seluruh kerabat dan tidak ada perbedaan antara mahram dan selain mahram."
Ibn Hajar al-'Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, "Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram."
Asy-Syaukani mengatakan, "Shilah ar-rahim itu mencakup semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat)."
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kerabat (QS an-Nisa'4: 36); memberi kepada kerabat (QS an-Nahl 16: 90); memberikan hak kepada kerabat (QS ar-Rum 30: 38); meski dalam hal itu sebagian mereka lebih diutamakan dari sebagian yang lain (QS al-Anfal 8: 75 dan al-Ahzab 33: 6). Rasul saw. pernah bersabda: Tangan yang memberi itu di atas (lebih utama) dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)-mu, ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Semua itu adalah bagian dari aktivitas silaturahim. Dari gambaran seperti itu, para ulama manarik pengertian silaturahim. Menurut Al-Manawi, silaturahim adalah menyertakan kerabat dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengartikan silaturahim sebagai berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, kadang dengan bantuan, kadang dengan berkunjung, mengucap salam, dan sebagainya.
Abu Thayyib mengartikan silaturahim sebagai ungkapan tentang berbuat baik kepada kerabat, orang yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; saling berbelas kasihan dan bersikap lembut kepada mereka, mengatur dan memelihara kondisi mereka, meski mereka jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahim berlawanan dengan semua itu.
Ibn Abi Hamzah berkata, "Silaturahim bisa dilakukan dengan harta, menolong untuk memenuhi keperluan, menghilangkan kemadaratan, muka berseri-seri, dan doa."
Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.”Tentang siapa yang termasuk orang yang menyambung silaturahim, Rasul saw. pernah bersabda:“Orang yang menghubungkan silaturahim bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan silaturahim adalah orang yang ketika kekerabatannya diputus, ia menghubungkannya. (HR al-Bukhari).
Kesimpulan. Dari paparan di atas, maka silaturahim adalah hubungan kerabat; berupa hubungan kasih-sayang, tolong-menolong, berbuat baik, menyampaikan hak dan kebaikan, serta menolak keburukan dari kerabat yaitu ahli waris dan ûlu al-arhâm.
Hubungan dengan selain mereka tidak bisa disebut silaturahim, karena tidak terpenuhi adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan dengan sesama Muslim selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-ukhuwah), bukan silaturahim.
Kata tersebut sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter) yang tepat untuk“shilaturrahim”adalah silaturahim, sesuai dengan pengertian bahasa dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.Penulisan alih kata yang kurang tepat, dan sering kita temukan di media cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan “silaturahmi” karena tidak sesuai dengan pengertian etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang disandarkan), yakni 'Shilah' dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran mudhaf), yakni 'Rahim'. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya menggabungkan sesuatu kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari hijran (meninggalkan). Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.
Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung maupun yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan, salam, dan lain-lain.”
Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan santun kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau menyakiti. Qath'ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat baik kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah terjalin.”
Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”
Pengertian Halal Bi halal dan Sejarahnya
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul saw. pernah bersabda:Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-rahim). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah larangan; ungkapan 'tidak masuk surga' juga merupakan qarînah jâzim, yang menunjukkan bahwa memutus hubungan kekerabatan (shilah ar-rahim) hukumnya haram.
Oleh karena itu, Qadhi Iyadh menyimpulkan, "Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shilah ar-rahim dalam keseluruhannya adalah wajib dan memutuskannya merupakan kemaksiatan yang besar.
Untuk memenuhi ketentuan hukum tersebut, kita harus mengetahui batasan mengenai siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin, dan aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menjalin silaturahim itu?
Dengan menganalisis makna ar-rahim atau al-arham yang terdapat dalam nash, dan pendapat para ulama tentangnya, bisa ditentukan batasan kerabat tersebut. Kata ar-rahim dan al-arhâm yang terdapat di dalam nash-nash yang ada bersifat umum, mencakup setiap orang yang termasuk arhâm (kerabat). Ketika menjelaskan makna al-arhâm pada ayat pertama surat an-Nisa', Imam al-Qurthubi berkata, "Ar-rahim adalah isim (sebutan) untuk seluruh kerabat dan tidak ada perbedaan antara mahram dan selain mahram."
Ibn Hajar al-'Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, "Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram."
Asy-Syaukani mengatakan, "Shilah ar-rahim itu mencakup semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat)."
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kerabat (QS an-Nisa'4: 36); memberi kepada kerabat (QS an-Nahl 16: 90); memberikan hak kepada kerabat (QS ar-Rum 30: 38); meski dalam hal itu sebagian mereka lebih diutamakan dari sebagian yang lain (QS al-Anfal 8: 75 dan al-Ahzab 33: 6). Rasul saw. pernah bersabda: Tangan yang memberi itu di atas (lebih utama) dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)-mu, ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Semua itu adalah bagian dari aktivitas silaturahim. Dari gambaran seperti itu, para ulama manarik pengertian silaturahim. Menurut Al-Manawi, silaturahim adalah menyertakan kerabat dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengartikan silaturahim sebagai berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, kadang dengan bantuan, kadang dengan berkunjung, mengucap salam, dan sebagainya.
Abu Thayyib mengartikan silaturahim sebagai ungkapan tentang berbuat baik kepada kerabat, orang yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; saling berbelas kasihan dan bersikap lembut kepada mereka, mengatur dan memelihara kondisi mereka, meski mereka jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahim berlawanan dengan semua itu.
Ibn Abi Hamzah berkata, "Silaturahim bisa dilakukan dengan harta, menolong untuk memenuhi keperluan, menghilangkan kemadaratan, muka berseri-seri, dan doa."
Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.”Tentang siapa yang termasuk orang yang menyambung silaturahim, Rasul saw. pernah bersabda:“Orang yang menghubungkan silaturahim bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan silaturahim adalah orang yang ketika kekerabatannya diputus, ia menghubungkannya. (HR al-Bukhari).
Kesimpulan. Dari paparan di atas, maka silaturahim adalah hubungan kerabat; berupa hubungan kasih-sayang, tolong-menolong, berbuat baik, menyampaikan hak dan kebaikan, serta menolak keburukan dari kerabat yaitu ahli waris dan ûlu al-arhâm.
Hubungan dengan selain mereka tidak bisa disebut silaturahim, karena tidak terpenuhi adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan dengan sesama Muslim selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-ukhuwah), bukan silaturahim.
Kata tersebut sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter) yang tepat untuk“shilaturrahim”adalah silaturahim, sesuai dengan pengertian bahasa dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.Penulisan alih kata yang kurang tepat, dan sering kita temukan di media cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan “silaturahmi” karena tidak sesuai dengan pengertian etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang disandarkan), yakni 'Shilah' dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran mudhaf), yakni 'Rahim'. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya menggabungkan sesuatu kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari hijran (meninggalkan). Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.
Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung maupun yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan, salam, dan lain-lain.”
Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan santun kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau menyakiti. Qath'ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat baik kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah terjalin.”
Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”
Pengertian Halal Bi halal dan Sejarahnya
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia - dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka - bertanya 'halal?' saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang 'made in Indonesia'. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.” [bahasakita.com]
Penulis Iwan Ridwan menyebut bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.
Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama. Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan 'Pangeran Sambernyawa'. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. [bahasakita.com].
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. Namun, dalam kaca mata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan; karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru mengurangi kesempurnannya. (Imanan, S.Ag, Wakil Ketua PDM Surabaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar