Oleh : Drs. Najib Sulhan, M.A. (Anggota Majelis Dikdasmen PDM Surabaya).
Ujian Nasional untuk SD, SMP, SMA, dan SMK telah berlalu. Bukan berarti drama Ujian Nasional telah berakhir. Masih ada lagi yang perlu dicermati, yaitu debaran jantung untuk menunggu hasil kelulusan. Apa yang dilakukan setelah lulus dan apa reaksi bagi yang tidak lulus?
Ujian Nasional untuk SD, SMP, SMA, dan SMK telah berlalu. Bukan berarti drama Ujian Nasional telah berakhir. Masih ada lagi yang perlu dicermati, yaitu debaran jantung untuk menunggu hasil kelulusan. Apa yang dilakukan setelah lulus dan apa reaksi bagi yang tidak lulus?
Fenomena Ujian Nasional mirip seperti drama. Berlangsungnya sangat dramatis.
Seolah-olah ada skenario. Di dalam skenario ada tokoh, alur, dan setting yang
jelas. kalau dilihat dari alur, maka tampak dimulai dari eksposisi yang
dilanjutkan dengan komplikasi dan konflik, hingga mencapai klimaks, lalu
sedikit menurut ke antiklimaks. Dilihat dari penokohan, maka ada siswa, guru,
kepala sekolah, orang tua, polisi, dan pemangku kepentingan lainnya. Jika
dilihat dari setting, maka fokusnya ada di sekolah.
Pemaparan awal terkait dengan persoalan menjelang
persiapan Ujian Nasional. Ini dialami oleh siswa akhir di sekolah, mulai dari
SD hingga SMA/SMK. Orang tua mulai diajak sosialisasi terkait dengan persoalan UjiaN
Nasoonal. Tidak sedikit sekolah menghentikan semua agenda, kecuali hanya fokus
pada Ujian Nasional.
Jelang Ujian
Nasional berbagai media cetak maupun elektronik mulai menginformasikan
kegalauan orang tua dan siswa menghadapi Ujian Nasional. Ada yang ramai-ramai
datang ke dukun untuk diberi jampi-jampi. Ada pula yang pensilnya dicelupkan ke
air yang dianggap memiliki khasiat yang dahsyat. Ada juga yang minta berkah ke
kuburan. Bahkan di internet ada orang yang mengaku pinter dengan menjual pensil
perbatang 100.000 rupiah dan siap diantar ke tempat tujuan. Tentunya pensil ini
dianggap lebih cerdas daripada pemakainya. Fenomena ini yang sedang dialami
bangsa ini.
Klimaks Ujian Nasional
terjadi pada saat hari pelaksanaan Ujian Nasional. Ketegangan begitu terasa dan
tidak seperti biasa. Ada sekolah ketika siswanya mengerjakan soal, semua guru
dan orang tua diajak untuk doa bersama dengan harapan anak-anak diberi
kemudahan. Ada juga yang sibuk mencari bocoran soal. Bahkan polisi ikut menjaga
ketat agar tidak terjadi penyelewengan. Pengawas independen pun dikerahkan untuk bisa menjaga kejujuran Ujian
Nasional. Tentunya ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun demikian,
kasus jual beli jawaban masih terjadi (Jawa Pos, 22 Mei 2012).
Dalam benak saya, ”Sudah separah inikah dunia pendidikan? Lembaga yang menentukan nasib bangsa. Lembaga yang akan mengukir masa depan anak ternyata kurang mendapat kepercayaan. Justru sebaliknya, lembaga yang mulia ini masih selalu dicurigai.” Ironis memang, tetapi inilah fakta yang terjadi di sekitar kita. Tidak perlu ada yang disalahkan. Namun perlu ada regulasi yang lebih bagus lagi dalam menentukan standar kelulusan..
Dalam benak saya, ”Sudah separah inikah dunia pendidikan? Lembaga yang menentukan nasib bangsa. Lembaga yang akan mengukir masa depan anak ternyata kurang mendapat kepercayaan. Justru sebaliknya, lembaga yang mulia ini masih selalu dicurigai.” Ironis memang, tetapi inilah fakta yang terjadi di sekitar kita. Tidak perlu ada yang disalahkan. Namun perlu ada regulasi yang lebih bagus lagi dalam menentukan standar kelulusan..
Antiklimaks
terjadi setelah menunggu pengumuman. Sekitar satu bulan siswa, guru, dan orang
tua harus menunggu pengumuman. Lulus atau tidak, itulah jawaban yang harus
diterima. Bersyukur, berbahagia, berfoya-foya, itu yang sering mewarnai mereka yang lulus. Sementara stres, pingsan,
bahkan ada yang bunuh diri ketika dinyatakan tidak lulus.
Peranan guru dan
orang tua sangat menentukan di saat-saat yang menegangkan ketika menunggu
pengumuman. Sekolah harus bisa seimbang menghadapi anak-anak. Penguatan hati,
bimbingan moral perlu dilakukan oleh sekolah. Berikan dukungan yang positif kepada
siswa, baik yang lulus maupun yang tidak lulus. Ujian itu biasa, ada yang lulus
dan ada yang tidak. Sukses dan tidaknya anak di masa depan bukan ditentukan
Ujian Nasional. Justru keyakinan dan keteguhan hati jauh lebih penting.
Begitu juga orang
tua, tidak perlu bersedih, malu, atau pesimis anak tidak sukses gara-gara tidak
lulus Ujian Nasional. Yakinlah bahwa kegagalan adalah bagian tangga untuk
menggapai sukses. Teguhkan hati anak-anak yang tidak lulus. Harapan kami, semua
lulus dengan nilai yang bagus tanpa menggadaikan nilai-nilai kejujuran.
Saat ini yang
perlu dipersiapkan adalah menghadapi anak-anak yang lulus. Euforia kelulusan
terjadi secara nasional. Berikan sentuhan positif kepada anak-anak agar bisa
memaknai kelulusan dengan rasa syukur dan bukan berhura-hura. Tahun-tahun
sebelumnya, ada siswa yang melakukan konfoi melewati batas kewajaran. Membawa
bendera merah putih dengan berbagai coretan. Ada juga yang telanjang dada
berkendara tanpa helm. Itu bentuk syukur yang jauh dari harapan semua pihak.
Cermin anak
adalah cermin sekolah. Jika ada sekolah yang memaknai rasa syukur dengan
hura-hura, maka bisa ditebak tentang proses yang terjadi di sekolah itu.
Nilai-nilai spiritual dan karakter belum
mampu mewarnai anak didik. Sebaliknya, sekolah yang bisa mengendalikan euforia
kelulusan dengan bentuk sujud syukur, ungkapan terima kasih, dan berbagai
kegiatan positif. maka itu akan lebih bermakna.
Jika baju seragam sekolah tidak lagi digunakan, alangkah baiknya dikumpulkan untuk dibagikan. Itulah ungkapan syukur yang mesti ditanamkan. Berikan solusi bagi anak-anak agar tidak salah dalam memaknai rasa syukur. (Drs. najib Sulhan, M.A)
Jika baju seragam sekolah tidak lagi digunakan, alangkah baiknya dikumpulkan untuk dibagikan. Itulah ungkapan syukur yang mesti ditanamkan. Berikan solusi bagi anak-anak agar tidak salah dalam memaknai rasa syukur. (Drs. najib Sulhan, M.A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar