Oleh : Abdul Hakim, M.Pd.I
Anda harus tahu, mengajar dan mendidik adalah misi kenabian. Para nabi, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW adalah guru terbaik. Demikian pula, para filosof seperti Pitagoras, Aristoteles, Sokrates, atau Plato adalah para guru besar di zamannya. Demikian pula, Imam Ghozali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al-Jabir, Ibnu Sina dan sejumlah besar pakar yang telah mengharumkan jagad peradaban Islam. Anda tentu tidak asing dengan Pablo Picasso, Michel Angelo, Leonardo Da Vinci, William Shakespiere, Isaac Newton, Albert Einstein, atau Abraham Lincoln, Thomas Alfa Edison, dan Alfred Nobel. Nama besar pahlawan Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, atau Kartini telah mewariskan nilai-nilai pendidikan. Ki Hajar Dewantoro, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy'ari, Sukarno-Hatta, Jendral Sudirman, Dr. Sudjatmoko, atau Prof. Dr. B.J. Habibi adalah guru dan pendidik besar.
Para nabi, filosof, seniman, ilmuwan, pahlawan, presiden, pengusaha, dan birokrat, serta pakar apa pun – tidak dapat dipungkiri – hadir dan menjadi manusia besar, berjasa bagi kemanusiaan adalah para guru kehidupan. Merekalah pembimbing dan teladan nilai-nilai kemanusiaan.
Para nabi, ulama, cendekiawan, filosof, seniman, ilmuwan, dan pahlawan adalah para guru abadi, guru sepanjang sejarah kemanusiaan yang telah mentransformasikan nilai-nilai spiritual, intelektual, emosional, dan komitmen kemanusiaan universal. Merekalah sumber inspirasi, motivasi, inovasi, kreativitas, dan enterpreneurship bagi banyak peran-peran kebajikan. Dari para guru, kita belajar banyak karakter mulia : ketulusan, kejujuran, toleransi, kerja keras, kesederhanaan, pengurbanan, tanggung jawab, dan keteladanan.
Manusia besar adalah mereka yang menjadikan guru sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan keteladanan. Bangsa besar adalah bangsa yang memuliakan guru. Negara besar adalah negara yang mensejahterakan guru. Generasi besar adalah mereka yang selalu santun dan bakti pada guru. Pemimpin besar adalah mereka yang menjadikan para guru sebagai dasar dan arah bagi keberhasilan mereka manjalankan amanat kemanusiaan.
Pada bulan Mei ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pada bulan pendidikan ini, selayaknya bangsa ini melakukan refleksi pendidikan. Kita bersyukur ikut menyaksikan banyak generasi baru berprestasi sebagai produk pendidikan. Tetapi, kita juga harus prihatin, sebagian rakyat kita belum bisa menikmati pendidikan, apalagi pendidikan bermutu. Kita sedih mayoritas kesejahteraan guru Indonesia masih rendah. Sekedar ilustrasi, para guru di Prancis bisa menikmati gaji per bulan sebesar 120 juta, belum termasuk fasilitas sosial dan kesehatan lainnya. Para guru di Jepang, Finlandia, Australia, Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan di banyak negeri maju lainnya mendapatkan penghargaan tinggi, lebih dari profesi lainnya.
Sementara itu, kita pedih, masih banyak guru kita, terutama guru madrasah, yang berpenghasilan per bulan sebesar 120 ribu. Mereka harus mengais rejeki dengan kerja sambilan sebagai tukang becak, tukang ojek, buruh, kuli, pedagang kaki lima, dan pekerjaan lainnya yang jauh dari profesisi guru. Masih lebih banyak lagi guru yang tidak tersentuh program sertifikasi, apalagi kesejahteraan bagi hari tua atau purnatugas.
Bila hari ini kualitas pendidikan kita buruk, sudah pasti salah satu indikator penyebabnya adalah kualitas guru. Bila 80% kualitas guru kita jelek, sudah pasti karena mereka tidak cukup mendapatkan hak-hak, terutama hak pembinaan, pencerdasan, kesejahteraan, sosial, kesehatan, dan hak pemberdayaan lainnya. Pemerintah dan berbagai institusi swasta yang ada di negeri ini tentu ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas para guru.
Bila kualitas guru buruk, kita tidak dapat berharap banyak kepada anak-anak bangsa ini tumbuh menjadi generasi berkualitas dalam bidang apa pun. Anak-anak kita tidak akan dapat memenangkan persaingan global. Ketika persaingan global menjadi tuntutan sekaligus tantangan, di atas prioritas apa pun, maka guru dan pendidikan harus menjadi skala prioritas peningkatan kualitas. Jadi, pemerintah dan institusi swasta harus bertanggung jawab bagi kualitas guru dan manusia Indonesia secara keseluruhan. Bangsa ini, khususnya umat Islam tidak akan mampu memenangkan kompetisi global, sebab kompetensi mereka memang masih jauh dari standar. Bila mutu guru dan pendidikan rendah, bangsa ini akan terus dijajah secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, teruslah peduli pendidikan! Pedulilah nasib guru, ustadz, dan mereka yang bergiat di medan juang pendidikan. Jangan sampai masa depan mereka telantar. Habis manis, sepah dibuang! Muliakanlah mereka!
Abdul Hakim, M.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Wakil Ketua LAZISMU Surabaya
Para nabi, filosof, seniman, ilmuwan, pahlawan, presiden, pengusaha, dan birokrat, serta pakar apa pun – tidak dapat dipungkiri – hadir dan menjadi manusia besar, berjasa bagi kemanusiaan adalah para guru kehidupan. Merekalah pembimbing dan teladan nilai-nilai kemanusiaan.
Para nabi, ulama, cendekiawan, filosof, seniman, ilmuwan, dan pahlawan adalah para guru abadi, guru sepanjang sejarah kemanusiaan yang telah mentransformasikan nilai-nilai spiritual, intelektual, emosional, dan komitmen kemanusiaan universal. Merekalah sumber inspirasi, motivasi, inovasi, kreativitas, dan enterpreneurship bagi banyak peran-peran kebajikan. Dari para guru, kita belajar banyak karakter mulia : ketulusan, kejujuran, toleransi, kerja keras, kesederhanaan, pengurbanan, tanggung jawab, dan keteladanan.
Manusia besar adalah mereka yang menjadikan guru sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan keteladanan. Bangsa besar adalah bangsa yang memuliakan guru. Negara besar adalah negara yang mensejahterakan guru. Generasi besar adalah mereka yang selalu santun dan bakti pada guru. Pemimpin besar adalah mereka yang menjadikan para guru sebagai dasar dan arah bagi keberhasilan mereka manjalankan amanat kemanusiaan.
Pada bulan Mei ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pada bulan pendidikan ini, selayaknya bangsa ini melakukan refleksi pendidikan. Kita bersyukur ikut menyaksikan banyak generasi baru berprestasi sebagai produk pendidikan. Tetapi, kita juga harus prihatin, sebagian rakyat kita belum bisa menikmati pendidikan, apalagi pendidikan bermutu. Kita sedih mayoritas kesejahteraan guru Indonesia masih rendah. Sekedar ilustrasi, para guru di Prancis bisa menikmati gaji per bulan sebesar 120 juta, belum termasuk fasilitas sosial dan kesehatan lainnya. Para guru di Jepang, Finlandia, Australia, Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan di banyak negeri maju lainnya mendapatkan penghargaan tinggi, lebih dari profesi lainnya.
Sementara itu, kita pedih, masih banyak guru kita, terutama guru madrasah, yang berpenghasilan per bulan sebesar 120 ribu. Mereka harus mengais rejeki dengan kerja sambilan sebagai tukang becak, tukang ojek, buruh, kuli, pedagang kaki lima, dan pekerjaan lainnya yang jauh dari profesisi guru. Masih lebih banyak lagi guru yang tidak tersentuh program sertifikasi, apalagi kesejahteraan bagi hari tua atau purnatugas.
Bila hari ini kualitas pendidikan kita buruk, sudah pasti salah satu indikator penyebabnya adalah kualitas guru. Bila 80% kualitas guru kita jelek, sudah pasti karena mereka tidak cukup mendapatkan hak-hak, terutama hak pembinaan, pencerdasan, kesejahteraan, sosial, kesehatan, dan hak pemberdayaan lainnya. Pemerintah dan berbagai institusi swasta yang ada di negeri ini tentu ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas para guru.
Bila kualitas guru buruk, kita tidak dapat berharap banyak kepada anak-anak bangsa ini tumbuh menjadi generasi berkualitas dalam bidang apa pun. Anak-anak kita tidak akan dapat memenangkan persaingan global. Ketika persaingan global menjadi tuntutan sekaligus tantangan, di atas prioritas apa pun, maka guru dan pendidikan harus menjadi skala prioritas peningkatan kualitas. Jadi, pemerintah dan institusi swasta harus bertanggung jawab bagi kualitas guru dan manusia Indonesia secara keseluruhan. Bangsa ini, khususnya umat Islam tidak akan mampu memenangkan kompetisi global, sebab kompetensi mereka memang masih jauh dari standar. Bila mutu guru dan pendidikan rendah, bangsa ini akan terus dijajah secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, teruslah peduli pendidikan! Pedulilah nasib guru, ustadz, dan mereka yang bergiat di medan juang pendidikan. Jangan sampai masa depan mereka telantar. Habis manis, sepah dibuang! Muliakanlah mereka!
Abdul Hakim, M.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Wakil Ketua LAZISMU Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar