Diakui atau tidak akhir-akhir ini penghargaan masyarakat terhadap sekolah dan guru cenderung rendah kalau tidak mau dikatakan hampir punah. Penyebabnya bukan karena kepala sekolah maupun guru kurang atau tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagai pendidik, akan tetapi mereka kurang mampu mengelola kewibawaan yang mereka miliki secara kolektif.
Menurut mantan Mendiknas Prof. DR. Wardiman Djojonegoro yang dimaksud kewibawaan kolektif tidak lain adalah satu kesatuan pandangan, wawasan atau kebijaksanaan yang berasal dari penyelenggara pendidikan, mulai dari kepala sekolah, dewan guru, tenaga administrasi dalam upaya menegakkan dan menjunjung tinggi almamater sekolah hingga tercipta lingkungan yang asri, tentram dan wibawa. Dengan kata lain kewibawaan kolektif merupakan komitmen bersama dari semua unsur penyelenggara pendidikan yang harus dipegang teguh dalam upaya menegakkan disiplin, sekolah dan guru.
Sejalan dengan definisi kewibawaan kolektif di atas, ada 2 faktor utama yang berpotensi merusak kewibawaan sekolah dan guru bila tidak disikapi secara bijak dan profesional. Yang pertama adalah kondisi obyektif intern sekolah dan yang kedua persepsi orang tua terhadap sekolah.
Sejalan dengan definisi kewibawaan kolektif di atas, ada 2 faktor utama yang berpotensi merusak kewibawaan sekolah dan guru bila tidak disikapi secara bijak dan profesional. Yang pertama adalah kondisi obyektif intern sekolah dan yang kedua persepsi orang tua terhadap sekolah.
Persepsi Orang Tua
Terlalu berlebihan barangkali bila ada wali murid beranggapan bahwa sekolah dapat memenuhi segalanya. Artinya apa yang diinginkan orang tua dan anak pasti terpenuhi tanpa berpikir bagaimana kondisi obyektif si anak di sekolah, mentang-mentang ia (ortu) sudah membayar ongkos pendidikan sekian juta rupiah. Kekurangtahuan seperti inilah kadang membuat orang tua bersikap "over acting" ketika menghadapi sebuah persoalan. Misalnya tentang penerapan disiplin di sekolah. Sementara itu masih ada beberapa kepala sekolah dan guru belum mampu membedakan antara situasi dalam pendidikan dengan situasi konseling. Artinya dalam situasi konseling toleransi masih dijunjung tinggi, karena siswa yang datang ke tempat konseling pada umumnya adalah anak-anak bermasalah dan kondisi mentalnya tidak stabil oleh karena itu mereka perlu dibantu. Sebaliknya dalam situasi pendidikan toleransi sebisanya ditiadakan karena anak-anak yang melanggar tata tertib di sekolah pada umumnya dalam keadaan sadar dan disengaja.
Sebagai ilustrasi penulis ketengahkan dua kasus yang berbeda. Kasus pertama dialami seorang siswi sebut saja Ani. Beberapa minggu, Ani tidak mengikuti pelajaran alias membolos, padahal pada waktu itu Ulangan Tengah Semester (UTS) tengah beriangsung. Salah satu penyebab utamanya adalah karena kedua orang tuanya baru saja bercerai. Akibat perceraian tersebut si Ani jadi tertekan dan malu kemudian enggan masuk sekolah.
Mencermati kasus si Ani seperti itu, haruskah sekolah memberi sanksi kepada si Ani misalnya melarangnya mengikuti ulangan susulan tengah semester. Tentu tidak. Mengapa? Karena Ani masih dalam situasi konseling. Justru sebaliknya ia harus dibantu agar bisa masuk sekolah lagi dan belajar lebih giat sehingga tidak tertinggal pelajarannya.
Lain halnya dengan kasus si Udin di bawah ini. Udin sering membolos tanpa alasan yang jelas dan gemar berbuat keonaran baik di dalam maupun di luar sekolah bahkan sering melecehkan guru-gurunya. Hal tersebut ia lakukan karena ia ingin dianggap pahlawan dan jagoan di sekolahnya. Anehnya pihak sekolah tidak memberi sanksi apa pun kepadanya. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada kepala sekolah dia hanya bisa berkata : Saya tidak berani memberi sanksi kepadanya karena orang tua Udin adalah penyumbang dana terbesar di sekolah kita ini. Bila sudah demikian keadaannya tercorenglah kewibawaan sekolah tefutama kepala sekolah. Semestinya Udin diberi sanksi sesuai kadar kesalahannya tanpa memandang keterlibatan orang tuanya di sekolah. Karena tidak ada hubungan antara pelanggaran yang dilakukan Udin dengan besarnya dana yang diberikan orang tuanya kepada pihak sekolah. Jadi sekolah tidak pedu ragu memberikan hukuman kepada Udin. Karena pelanggaran tersebut dilakukan secara sadar dan disengaja.
Intern Sekolah
Kita tahu bahwa kondisi obyektif para guru di sekolah tidaklah sama. Baik aspek kognisi maupun ketrampilan yang mereka miliki. Ada yang di atas rata-rata, ada yang sedang-sedang saja dan bahkan ada yang tidak layak mengajar. Kondisi seperti milah yang memungkinkan kewibawaan sekolah dan guru terancam, bila tidak disikapi secara kolektif dan bijaksana.
Misalnya kalau ada siswa melapor kepada kepala sekolah bahwa Pak B tidak sepandai Pak C kalau mengajar. Oleh sebab itu banyak siswa tidak menyukai Pak B. Apa jawab kepala sekolah kepada siswa tersebut? Haruskah laporan tersebut ditanggapi secara langsung tanpa mempertimbangkan privasi gum yang bersangkutan, misalnya dengan mengatakan: Memang Pak B itu ya seperti itu, bisanya cuma bicara. Bila hal tersebut sampai terdengar oleh para siswa lain, wan bisa hancur kewibawaan guru tersebut. Hal tersebut mestinya bisa dinetralisir dengan cara mempertanyakan kembali kepada si pelapor (murid) dengan mengatakan: Apakah teman-temanmu yang lain juga menilai Pak B seperti itu. Jangan-jangan kamu sendiri yang menilai seperti itu. Coba kamu pikir sekali lagi siapa tahu pengamatanmu selama ini keliru. Dengan cara seperti itu, tidak saja wibawa guru terselamatkan tetapi juga memberi pelajaran kepada si pelapor (murid) agar tidak gegabah menilai seseorang, apalagi orang tersebut gunmya sendiri.
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan kolektif mutlak diperlukan dan dibudayakan oleh setiap sekolah dan guru kalau tidak ingin disepelekan oleh masyarakat, terutama wali murid dan siswa.
Penulis, adalah anggota Majelis Pustaka & Informasi PDM Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar