Dan, (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Q.S. Al-Hajj 26-32).
“Barangsiapa hendak menunaikan haji, maka hendaklah dilakukannya segera, sebab dia mungkin akan sakit, akan hilang kendaraan, dan timbul kebutuhan-kebutuhan lain.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Baihaqi, Ath-Thobari).
“Haji mabrur itu tidak ada balasan lain baginya kecuali syurga.” (H.R. Bukhori, Muslim).
Setiap muslim pasti berharap dapat menunaikan rukun Islam kelima, yakni haji. Berbagai upaya dilakukan sejak jauh-jauh hari. Ada yang menabung setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun. Tidak sedikit yang sabar menyisihkan rupiah dalam bilangan waktu yang tidak terukur. Ada yang terpaksa harus menjual perhiasan, rumah, sawah, mobil agar dapat bersegera menunaikan ibadah ini. Tidak sedikit yang memaksakan diri dengan berhutang ke Bank, saudara, kerabat, atau menunggu dapat arisan. Pun tidak sedikit yang menunaikannya berkat hadiah saudara atau perusahaan tempat kerja. Demi menunaikan ibadah yang menuntut persiapan ekstra energy ini, tidak perduli setua apapun umurnya. Semua bertekad untuk dapat pergi ke tanah suci, berkumpul dengan berjuta mukmin melaksanakan rangkaian ibadah haji, mulai niat, ihrom, wukuf, mabit, lempar jumroh, towaf, sa'i, tahallul dan berbagai amalan haji lainnya.
Mereka juga berharap dapat berziarah ke sosok pribadi agung yang paling mereka cintai, Rasululloh Muhammad SAW, kuluarga, sahabat dan tempat bersejarah lainnya. Mereka datang karena ingin memperbaiki kualitas tauhid, ibadah, akhlaq dan komitmen sosial yang mereka sadari sebagai amanat. Mereka sungguh ingin menunaikannya dengan ikhlas, khusyu', lancar, sempurna dan akhirnya pulang dengan meraih kemaqbulan dan kemabruran.
Maka, selain mengikuti bimbingan manasik, dengan intens, jamaah haji harus membaca sejumlah referensi yang mengurai beragam pengalaman, hikmah dan fadilah haji. The Road to Macca adalah salah satu buku perjalanan haji yang perlu dibaca. Buku ini ditulis seorang muallaf, jurnalis asal Austria, Muhammad Asad atau Leopold Weiss. Buku yang versi Indonesianya berjudul Jalan Munuju Mekkah ini mengisahkan perjalanan hajinya dengan lugas dan memikat. Dengan penuh tanda tanya, Assad mengisahkan, bagaimana mungkin manusia dari berbagai belahan dunia, dari berbagai latar belakang suku, bangsa, bahasa dan warna kulit datang ke kota suci umat Islam ini. Mereka datang dengan menempuh beragam jalan dan tantangan, lewat laut dan darat hanya untuk satu tujuan, memenuhi panggilan purba, menunaikan puncak rukun Islam. Assad takjub, kagum, dan tertegun betapa Ka'bah telah menjadi magnet umat Islam sejak ribuan tahun. Mereka datang berjalan kaki, menunggang unta, atau kuda begal menelusuri bukit, bebatuan, padang pasir, menembus segala tantangan dari zaman ke zaman, dan dari beragam musim dan cuaca, dengan jarak ribuan mil, dari pulau, negara, dan benua yang jauh bahkan.
Buku kedua ditulis oleh Dr.Ali Syariati berjudul HAJI. Terbit tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan setelah Revolusi Iran. Membaca HAJI-nya Ali Syariati, kita akan takjub, sebab intelektual yang turut sukses membidani Rovolusi Iran menyingkirkan Rezim Syah Reza Pahlevi itu menulis tidak dalam perspektif syi'ah. Bukunya mengulas sejarah dan symbol-simbol ibadah haji, memadunya dengan siroh, hikmah dan fadilah haji secara integral. Uraiannya filosofis, inspiratif, dan tentu mencerahkan. Berhaji itu tidak sekedar menjalankan ritual kering tanpa penghayatan. Ibadah haji merekam dimensi ketuhanan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Siapa pun yang hendak menunaikan ibadah haji harus keluar dari penjara nafsu yang selama ini telah banyak melahirkan sosok manusia arogan, penguasa tiran, para dictator, pemimpin fasis, manusia-manusia yang haus dan maniak dunia, harta, tahta, dan wanita, serta tak henti melakukan kekerasan, kerusakan dan penindasan.
Buku ketiga berjudul Haji, Kelana Mencari Ilahi, ditulis Ahmad Thomson, muallaf asal Inggris. Dengan modal 60 poundsterling, Thomson berangkat menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki. Semula ia tidak yakin bisa sampai ke kota suci Mekkah. Niat dan tekadlah yang memotivasi Ali untuk terus menelusuri rute berat mulai dari London, Athena, Alexandria, Kairo, Humayaro, Aswan, Wadi Haifa, Kartum, Abu Haraz, Kaddabas, Kusti, Jabal Murrah, sebelum menyeberang ke Jeddah, dan akhirnya sampailah ke tanah haram, Makkah. Menyimak perjalanan spiritual yang dilakukan muslim Inggris ini, kita jadi ingat Bahari, wartawan Jawa Pos yang tahun lalu berhaji via darat yang ditempuhnya selama tiga bulan, mulai dari Surabaya, Jakarta, Sumatra, Malaysia, hingga India, Pakistan, dan akhirnya terbang ke Jeddah beberapa saat sebelum wukuf di Arofah.
Anda juga sebaiknya membaca BERHAJI KEPADA ALLOH karya Abdul Azis. Buku ini sungguh mencerahkan, mengurai hikmah dan keutamaan rukun dan wajib haji dan umroh, keutamaan niat, hakikat ihrom dan thowaf, makna sa'i, wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah, hakikat melempar jumroh, mabit di Mina, makna ziaroh, dan nilai kemabruran. Semua diuraikan secara ringan, namun mendalam. Kadang menegur atau mengingatkan agar berhaji secara total.
Demi melengkapi hikmah dan fadilah haji, sebaiknya pula Anda membaca renungan khas Danarto dalam bukunya ORANG JAWA NAIK HAJI. Ya, semua agar berhaji dengan lebih ikhlas, cerdas, sabar, istiqomah dan kaffah penuh totalitas. Agar kemabruran bukan sekedar impian. Selamat jalan para tamu istimewa. Berhajilah dengan hati, akal, nafsu dan harta yang dirahmati. Semoga maqbul dan mabrur! (ABDUL HAKIM, M.Pd.I, Pimred Majalah LAZISMU Surabaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar